Advertise
Abdul Hamid Info - Analis politik dari Exposit Strategic Arif Susanto mengkritik pernyataan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian yang menyebut buzzer atau pendengung sebagai bagian yang tak terelakkan dari demokrasi.
"Sama sekali keliru untuk melihat peran buzzer sebagai bagian aktor digital untuk transformasi demokrasi. Justru mereka ini adalah parasit yang menumpang kebebasan dan merusak demokrasi," katanya kepada CNNIndonesia.com melalui pesan singkat, Kamis (3/9).
Arif berpendapat demokrasi seharusnya diisi oleh diskursus kritis. Sedangkan buzzer, katanya, hanya mempengaruhi opini publik secara manipulatif sehingga mengikis pemikiran kritis.
Ia mengatakan upaya menggiring opini yang dilakukan buzzer umumnya berhasil mempengaruhi masyarakat yang kurang melek informasi, cenderung emosional dan irasional.
Menurutnya, pemerintah dalam hal ini seharusnya berupaya mencerdaskan masyarakat dalam literasi digital. Namun, ia menilai pemerintah justru memanfaatkan fenomena buzzer untuk keuntungan politik.
Arif menyinggung kasus RUU Omnibus Law Cipta Kerja sebagai salah satu contohnya. RUU Ciptaker termasuk kebijakan yang dalam beberapa waktu belakangan banyak menerima kritik, khususnya dari kalangan buruh.
"Alih-alih berdiskursus, pemerintah justru memanfaatkan jasa buzzer untuk mempengaruhi opini publik lewat seleksi informasi dan memanipulasinya untuk menghasilkan dukungan publik," tudingnya.
Ia mengatakan penggunaan buzzer dalam konteks ini bisa dipandang sebagai langkah-langkah yang tidak demokratis. Terlebih jika disertai upaya intimidasi kepada pihak yang menolak RUU Ciptaker.
Arif menjelaskan penggunaan jasa influencer atau buzzer dikenal umum dengan tujuan komersial. Namun pada konteks politik, ia menilai konsekuensi etiknya lebih besar karena menyangkut urusan publik.
Arif berpendapat demokrasi seharusnya diisi oleh diskursus kritis. Sedangkan buzzer, katanya, hanya mempengaruhi opini publik secara manipulatif sehingga mengikis pemikiran kritis.
Ia mengatakan upaya menggiring opini yang dilakukan buzzer umumnya berhasil mempengaruhi masyarakat yang kurang melek informasi, cenderung emosional dan irasional.
Menurutnya, pemerintah dalam hal ini seharusnya berupaya mencerdaskan masyarakat dalam literasi digital. Namun, ia menilai pemerintah justru memanfaatkan fenomena buzzer untuk keuntungan politik.
Arif menyinggung kasus RUU Omnibus Law Cipta Kerja sebagai salah satu contohnya. RUU Ciptaker termasuk kebijakan yang dalam beberapa waktu belakangan banyak menerima kritik, khususnya dari kalangan buruh.
"Alih-alih berdiskursus, pemerintah justru memanfaatkan jasa buzzer untuk mempengaruhi opini publik lewat seleksi informasi dan memanipulasinya untuk menghasilkan dukungan publik," tudingnya.
Ia mengatakan penggunaan buzzer dalam konteks ini bisa dipandang sebagai langkah-langkah yang tidak demokratis. Terlebih jika disertai upaya intimidasi kepada pihak yang menolak RUU Ciptaker.
Halaman: