Seputar Islam - Pemberian nama pada anak, biasanya dilakukan pada saat proses tasyakuran aqiqah berlangsung. Lalu muncul sebuah pertanyaan, haruskah melakukan aqiqah lagi jika sebelumnya anak sudah pernah aqiqah? Jawabannya, tidak perlu.
Pandangan ulama mengenai hukum aqiqah terdapat perbedaan, namun mayoritas ulama sepakat bahwa pelaksanaan aqiqah adalah sunnah muakkad (dianjurkan). Seperti yang sudah dijelaskan pada waktu aqiqah yang paling utama, adalah pada hari ke-7 atau seminggu setelah kelahiran anak.
Aqiqah merupakan salah satu rangkaian ibadah yang dikaitkan dengan kelahiran anak, bukan karena pemberian nama. Lalu, apa yang menjadi dasar bahwa tidak perlu lagi mengaqiqahkan anak yang mau ganti nama, dengan catatan bahwa sebelumnya sudah pernah diaqiqahkan?
Diantara dalil bahwa aqiqah dikaitkan dengan kelahiran anak adalah:
Pertama, hadis dari Buraidah bin Hashib al-Aslami, beliau menceritakan,
كُنَّا فِى الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لأَحَدِنَا غُلاَمٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا فَلَمَّا جَاءَ اللَّهُ بِالإِسْلاَمِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنَلْطَخُهُ بِزَعْفَرَانٍ
Dulu di masa jahiliyah, apabila anak kami baru dilahirkan, maka kami menyembelih seekor kambing, dan kami lumuri kepala bayi itu dengan darah kambing. Ketika islam datang, kami tetap menyembelih kambing aqiqah, kami gundul kepala bayi, dan kami lumuri dengan za’faran. (HR. Abu Daud 2845 dan dinilai hasan shahih oleh al-Albani).
Kedua, hadis dari Salman bi Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,
مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيقَةٌ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الأَذَى
Untuk setiap kelahiran anak ada aqiqahnya. Karena itu, sembelih hewan untuknya dan buang kotoran darinya. (HR. Ahmad 18359, Bukhari 5472, dan yang lainnya).
Ketiga, hadis dari Samurah bin Jundub, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى
Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, untuk disembelih di hari ketujuh kelahirannya, digundul rambutnnya, dan diberi nama. (HR. Ahmad 20616, Abu Daud 2840, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Semua hadis di atas menunjukkan bahwa perintah aqiqah, dikaitkan dengan kelahiran anak dan bukan pemberian nama atau pergantian nama.
Dulu Nabi ﷺ terkadang mengganti nama-nama sahabat yang artinya bermasalah. Karena terkadang orang jahiliyah menamakan anak mereka dengan bentuk penghambaan kepada selain Allah, seperti Abdul Uzza (hamba Uzza) atau Abdul Ka’bah (hamba Ka’bah). Atau nama-nama yang buruk lainnya.
Sahabat Abdurrahman bin Auf, di zaman Jahiliyah bernama Abdul Ka’bah, kemudian diganti oleh Nabi ﷺ dengan nama Abdurrahman. (al-Mu’jam al-Wasith, 253)
Sahabat Abdurrahman bin Abu Bakr, dulu bernama Abdul Uzza. Setelah masuk islam diganti oleh Nabi ﷺ dengan Abdurrahman. (al-Mustadrak, 3/538)
Sahabat Muthi bin al-Aswad. Dulu bernama al-‘Ash (tukang maksiat). Setelah masuk islam diganti Nabi ﷺ dengan Muthi’ (orang yang taat). (al-Mu’jam al-Kabir, 691).
Ada sahabat namanya Hazn (susah), diganti oleh Rasulullah ﷺ dengan Sahl (mudah). Beliau juga mengganti sahabat yang bernama Harb (perang), dengan Salm (tenang). (HR. Abu Daud 4958)
Ada sahabat wanita yang dulunya bernama ‘Ashiyah (tukang maksiat), kemudian diganti dengan Jamilah (wanita cantik). (HR. Muslim 5727)
Ada juga sahabat yang dulunya bernama Ashram (melarat), kemudian diganti dengan Zur’ah (subur). (HR. Abu Daud 4956).
Dan masih banyak lagi yang lainnya. Namun kita tidak menjumpai riwayat, dimana Nabi ﷺ menyuruh mereka untuk menyembelih aqiqah karena ganti nama.
Untuk itu, jika ada orang yang ganti nama, karena nama sebelumnya bermasalah secara arti, maka cukup dia umumkan kepada rekan-rekannya. Sehingga mereka tidak lagi memanggil namanya yang lama, tapi mengenalnya dengan nama yang baru. Untuk masalah KTP dan administrasi lainnya, dia bisa urus sesuai prosedur yang berlaku. والله أعلمُ
Oleh Ustadz Ammi Nur Baits
Sumber: konsultasisyariah.com
Video Pilihan: Mengganti Nama dalam Islam - Ust Zezen Zaenal Mursalin, Lc
Advertise