Abdul Hamid Info - Para peneliti hingga saat ini masih terus berupaya mengembangkan antivirus dan obat yang efektif untuk melawan pandemi Covid-19, tidak ketinggalan juga di Indonesia.
Sejumlah lembaga keilmuan seperti LIPI hingga Unair juga melakukan riset tersendiri. Sedangkan Kementerian Pertanian pada bulan Juli telah mengeluarkan sederet produk yang menyandang klaim 'anticorona' pada kemasannya.
Namun, berbeda dengan riuhnya pemberitaan di media massa tentang riset dan klaim temuan obat, publikasi ilmiah atas riset-riset itu justru dinilai sangat kurang. Padahal, publikasi ilmiah dapat memberikan transparansi dan pandangan objektif atas sebuah penelitian. Objektivitas dan transparansi sangatlah penting, apalagi di tengah pandemi yang sedang melanda.
Deutsche Welle mewawancarai Yohanes Cakrapradipta Wibowo, dokter yang juga peneliti di Universitas Heidelberg, Jerman, tentang minimnya publikasi ilmiah riset-riset corona. Menurutnya, publikasi ilmiah riset-riset ini justru lebih penting dibandingkan dengan publikasi di media massa. Apa alasannya? Berikut wawancara DW dengan Yohanes Wibowo perihal masalah ini.
Deutsche Welle: Telah banyak beredar produk yang diklaim 'anticorona' atau anti-Covid, apa yang harus diperhatikan masyarakat?
Yohanes Cakrapradipta Wibowo: Yang paling utama yang harus diperhatikan masyarakat bahwa sampai wawancara ini (09/08 - Red), belum ada satu pun obat herbal atau obat apa pun sebenarnya yang terbukti 100% efektif disebut sebagai obat anticorona. Semua hal tersebut bisa diakses di situs clinicaltrials.gov. Semua yang teregister valid uji klinis ada di sini. Dan belum ada yang positif 100% hasilnya. Hanya ada beberapa yang berpotensi tapi masih belum final hasilnya.
Jadi ada daftar obat apa saja yang sedang dalam proses uji klinis tapi memang belum ada yang satu pun yang sudah memiliki hasil yang disebut sebagai obat anticorona. Hanya ada beberapa clue saja tapi itu pun hasilnya harus di-follow up lebih lanjut, untuk mengetahui apakah ada efek samping atau efek yang tidak diinginkan.
Jadi kalau memang ada klaim, baik itu berupa obat herbal maupun kombinasi obat lain, ujinya itu baru in vitro, baru diuji ke cawan petri saja di level preklinis. Namun seolah-olah sudah diklaim sebagai sudah diuji klinis atau sudah memiliki efek pada manusia. Padahal manusia dengan objek riset di preklinis itu sangat berbeda karena manusia lebih kompleks.
Namun, berbeda dengan riuhnya pemberitaan di media massa tentang riset dan klaim temuan obat, publikasi ilmiah atas riset-riset itu justru dinilai sangat kurang. Padahal, publikasi ilmiah dapat memberikan transparansi dan pandangan objektif atas sebuah penelitian. Objektivitas dan transparansi sangatlah penting, apalagi di tengah pandemi yang sedang melanda.
Deutsche Welle mewawancarai Yohanes Cakrapradipta Wibowo, dokter yang juga peneliti di Universitas Heidelberg, Jerman, tentang minimnya publikasi ilmiah riset-riset corona. Menurutnya, publikasi ilmiah riset-riset ini justru lebih penting dibandingkan dengan publikasi di media massa. Apa alasannya? Berikut wawancara DW dengan Yohanes Wibowo perihal masalah ini.
Deutsche Welle: Telah banyak beredar produk yang diklaim 'anticorona' atau anti-Covid, apa yang harus diperhatikan masyarakat?
Yohanes Cakrapradipta Wibowo: Yang paling utama yang harus diperhatikan masyarakat bahwa sampai wawancara ini (09/08 - Red), belum ada satu pun obat herbal atau obat apa pun sebenarnya yang terbukti 100% efektif disebut sebagai obat anticorona. Semua hal tersebut bisa diakses di situs clinicaltrials.gov. Semua yang teregister valid uji klinis ada di sini. Dan belum ada yang positif 100% hasilnya. Hanya ada beberapa yang berpotensi tapi masih belum final hasilnya.
Jadi kalau memang ada klaim, baik itu berupa obat herbal maupun kombinasi obat lain, ujinya itu baru in vitro, baru diuji ke cawan petri saja di level preklinis. Namun seolah-olah sudah diklaim sebagai sudah diuji klinis atau sudah memiliki efek pada manusia. Padahal manusia dengan objek riset di preklinis itu sangat berbeda karena manusia lebih kompleks.
Advertise
Halaman: