Abdul Hamid Info - Wacana pemerintah mengatur khotbah Jumat direspons negatif. Wacana Kementerian Agama dinilai mengekang kebebasan.
'Tes ombak' khotbah Jumat diatur pemerintah diutarakan oleh Kepala Kantor Kemenag Kota Bandung Yusuf Umar. Wacana tersebut dimunculkan berkaitan dengan hasil studi banding yang dilakukan oleh Menteri Agama Fachrul Razi di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA).
Menurut Yusuf, Menag ingin agar khotbah di masjid menggunakan teks dari pemerintah. Namun wacana itu masih dikoordinasikan dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ormas Islam lain.
"Jadi mungkin hasil study banding pak Menteri Agama di Abu Dhabi, nah itu coba bisa nggak dikondisikan di daerah. Nah saya kan sebagai pelaksana kebijakan di Kota Bandung, ini dari Pak Menteri ketika ada pengarahan beliau. Saya belum melangkah lebih jauh kita akan ketemu dengan Pak Wali kalau Pak Wali sudah, saya akan kordinasi dengan MUI dan tokoh ormas. Kalau disetujui yah kita tindaklanjuti untuk menyusun naskah," kata Yusuf kepada detikcom, Selasa (21/1/2020).
Merespons wacana tersebut, MUI menyarankan pemerintah tetap memberi kebebasan pada khatib Jumat. Wakil Sekjen MUI, Amirsyah Tambunan berpendapat kebijakan itu perlu didialogkan dengan berbagai pihak.
Menurutnya, pemerintah cukup memberi masukan soal materi khutbah tanpa mengganggu substansi yang akan disampaikan khatib.
"Dalam konteks khotbah ini tentu pemerintah akan lebih bagus posisinya untuk memberikan kebebasan kepada khatib sepanjang berjalan sesuai prinsip-prinsip beragama, berbangsa, dan bernegara. Dalam khotbah Jumat itu sudah ada tata tertib, rukun, syarat. Hal semacam itu tidak bisa diintervensi," kata Amirsyah saat dihubungi, Selasa (21/1/2020).
Penolakan wacana ini juga datang dari DPR RI. Wakil Ketua Komisi VIII Ace Hasan Syadzily menilai wacana itu tak perlu dilakukan. Dia mengingatkan agar kemampuan masyarakat memilih khotib salat Jumat tak perlu diragukan.
"Pengaturan teks khotbah Jumat di masjid-masjid jelas merupakan bentuk 'penyeragaman' materi khotbah. Di era orde baru saja, tidak ada itu pengaturan teks khotbah Jumat. Jika wacana pengaturan teks khutbah itu dilakukan, Pemerintah terlalu ikut campur terhadap urusan keagamaan masyarakat," kata Ace saat dihubungi, Selasa (21/1/2020) malam.
"Jika-pun ditemukan, misalnya, ada khatib yang dinilai tidak sesuai dengan ketentuan syariah, saya kira masyarakat sendiri yang melakukan koreksi atas khotbah Jumat yang dinilainya tidak tepat," imbuhnya.
Politisi Golkar itu juga menyinggung alasan pemerintah akan mengatur teks khotbah Jumat yang disebut-sebut merupakan hasil studi banding di Uni Emirat Arab. Dia menilai praktik keagamaan di Indonesia tak bisa disamakan dengan negara lain.
"Jika rujukannya adalah Uni Emirat Arab atau di Abu Dhabi, sebagaimana pengalaman kunjungan Pak Menteri Agama, praktik keagamaan di sana berbeda dengan di Indonesia yang lebih plural dan majemuk dengan sistem politik dan pemerintahannya yang berbeda," ucap dia.
Sementara itu, Menag Fachrul menegaskan pemerintah tak akan mengatur teks khotbah Jumat. Fachrul mengatakan dirinya hanya bercerita mengenai praktik keagamaan di negara lain.
"Kita kan bagus kalau kita mau melakukan sesuatu, kita melihat orang lain gimana. Oh di Saudi, begini, di Emirat Arab begini. Apakah kita akan ubah? Saya nggak pernah bilang untuk mengubah kok," kata Fachrul di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (22/1/2020).
Fachrul juga menegaskan tak pernah mengeluarkan pernyataan bahwa akan mengubah ketentuan khotbah Jumat di Indonesia. Cerita kunjungannya di Saudi, kata Fachrul, sebatas untuk pemahaman jajarannya di Kemenag.
"Saya cerita apa yang ada di Saudi, negara Arab, tempat lahirnya nabi-nabi, Rasulullah, apa yang ada di negara Arab lainnya, apa yang ada di Emirat Arab, silakan pahami itu. Nggak pernah saya katakan nanti di Indonesia akan begini," ujar dia.[dn]
Advertise
Halaman: